Bonjol Ibukota Paderi

Awal tahun 2000an. Sisa asap dari Riau masih tersayup. Melayang-layang tinggi di antara dedaun. Udara sedikit lebih segar, bumi dingin setelah malamnya diguyur hujan. Mobil penulis dari Simpangempat, Pasaman Barat, tengah melaju menuju Lubuksikaping. Singgah beberapa hari di ibu kabupaten Pasaman Timur ini, lanjut esok pagi-pagi sekali ke Bonjol, terus ke Padang.

Di atas mobil, penumpang berciloteh kamari pai (apa saja). Ada longsor di satu kampung dekat Panti. Mobil jatuh, syukur penumpang cuma luka-luka. Cabe dan beras mulai turun harga. Sekarang barang sudah mulai stabil.

Ketika mobil masuk ke area rimbo panti, teman seperjalanan, Mamak, berbisik. “Kita masuk rimbo panti. Hati-hati kalau di sini. Banyak inyiak balang (harimau)”, katanya. Entah menakuti atau apa.

“Oya, apa ada harimau jadi-jadian juga?” sahut penulis.

“Hussh. Jangan keras-keras! Di mobil ini mungkin ada di antara inyiak itu sedang duduk dengan kita. Diam sajalah”, bilangnya.

Bonjol sampai sudah. Asri. Mamak mengajak ke museum Tuanku Imam Bonjol. Tak terawat. Relatif sepi. Cuma nampak beberapa anak sekolah masih berpakaian seragam bercengkrama. Kami kemudian mengambil beberapa foto. Terus ke tugu katulistiwa. Duduk saja. Penulis mencoba memanggil-manggil ingatan masa lalu, yang mungkin tersirapan di helai-helai daun tua dekat museum Tuanku Imam itu.

Kalau tak bermukim Tuanku Imam, atau Peto Syarif di nagari ini, akankah sejarah akan mencatatnya sebagai daerah paling penting dalam penyebaran Islam di Minangkabau? Akankah orang se-Indonesia akan tahu betapa berartinya Bonjol sebagai situs perjuangan melawan kolonialisme Belanda di awal abad ke-19 lalu? Bahwa Bonjol adalah titik tolak perubahan besar bagi Minangkabau? Gubernur militer Belanda kala itu, Michiels, berani sesumbar. Jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda adalah episode baru (tijdkring), tidak saja bagi Minangkabau, tapi juga Sumatera, katanya (Taufik Abdullah, The Making of a Schakel Society: The Minangkabau Region in the Late Nineteenth Century, 1975).

Memang, kala Bonjol jatuh, Tuanku Imam ditawan dan dibuang, Minangkabau memasuki sejarah baru yang disebut eksploitasi kolonialisme. Nagari-nagari dipecah. Penghulu adat baru, diangkat sesuai kepentingan kolonialisme. Para ulama ditekan. Budaya baru dikenalkan. Nilai-nilai tradisi dan keislaman digeser sebagai norma kolot. Dan pendidikan Barat dikenalkan sebagai standar baru hidup orang Minangkabau kala itu.

Tapi, usaha-usaha perubahan yang dilakukan pemerintah kolonial, salah satunya dapat dilihat pada persepsi; mengikis pengaruh kekuasaan Paderi di Minangkabau. Hampir semua nagari-nagari dimajukan pemerintah, dulunya bagian wilayah kuasa Paderi yang berpusat di Bonjol. Bonjol adalah “ibukota pemerintahan” Paderi.

Di Bonjol, semua urusan politik, ekonomi, agama, dan militer dirancang, termasuk kala melawan tentara Belanda. Bonjol mengirim tentaranya berperang memertahankan nagari-nagari kekuasaan mereka dari kaum adat yang didukung pasukan Belanda. Perang ini dicatat sebagai Perang Paderi. Tercatat, Bonjol mengirim ekspedisi tentara mereka ke Lintau. Kapau Marapalam, Atar, dan tempat lain, menghadang laju pasukan Belanda.

Bonjol juga menandatangani dua perjanjian damai dengan pemerintah kolonial, yang intinya mengakui kekuasaan Paderi di Minangkabau, dan adanya wakil Boniol di Padang (lihat Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, 1981). Bila menelusuri kiprah Bonjol sebagai pusat “pemerintahan” Paderi pada awal abad ke-19 itu, tentu banyak terbayangkan.

Sebagai sebuah pusat gerakan terkuat di Minangkabau kala itu. Mungkin Bonjol kala itu adalah sebuah kota banteng yang relatif kuat. Berpagar medium yang sulit ditembus tentara asing. Berisi deretan gedung-gedung utama, dan beberapa sarana pendukung, semisal rumah Tuanku Imam dan keluarganya. Masjid. Lapangan latihan tentara (?) Pemukiman “pejabat” Paderi, dan penduduk. Pasar. Barak tentara. Tempat pembuatan senjata dan mesiu. Jalan. Mungkin banyak lagi.

Di sini. Di keheningan ini. Depan sebuah simbol atas kenangan Tuanku Imam. Tiba-tiba ingin rasanya kembali ke masa silam.

“Apa kita tak bisa melihat sisa-sisa ibukota Paderi di Bonjol ini?”
“Haa?!” Mamak tergagap dengan pertanyaan tiba-tiba penulis.
“Tak tahu, wak”, katanya.
“kita pulang!” rungutnya kesal.

————————————————————–

Ditulis oleh Yudhi Andoni dalam sebuah buku yang berjudul Khazanah Lampau Nagari Minangkabau, Ingatan yang Melampaui Zaman. Diterbitkan oleh LPPM Universitas Andalas pada tahun 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BERITA LAINNYA :