UrangMinang.id — Bagi masyarakat Pagaruyung, nama Si Muntu atau Cimuntu bukanlah sesuatu yang asing. Sosok ini merupakan bagian dari tradisi yang telah hidup sejak masa lampau, dikenal sebagai simbol hiburan rakyat sekaligus pengingat sejarah yang melekat erat di tengah masyarakat Minangkabau.
Si Muntu kerap digambarkan sebagai “orang buruk”. Wujudnya dibuat menyeramkan, dengan seluruh tubuh dibalut jerami dan menggunakan topeng yang sengaja dibuat menakutkan. Namun, meski berpenampilan mengerikan, perannya justru sebagai penghibur dalam berbagai acara keramaian, khususnya di wilayah Pagaruyung, Tanah Datar.
Dalam perayaan atau pesta rakyat, kehadiran Si Muntu dinanti-nantikan. Anak-anak berlari sembari tertawa, orang dewasa ikut bersorak ketika Si Muntu lewat. Sosok ini telah menjadi bagian dari warisan budaya yang sarat makna.
Tarian Si Muntu : Warisan Perjuangan Perang Padri
Tak hanya di Pagaruyung, tradisi Si Muntu juga melahirkan sebuah tarian khas bernama Tari Simuntu. Tarian ini berkembang di berbagai daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Pariaman, Kabupaten Agam, hingga Tanah Datar.
Tari Simuntu dipercaya terinspirasi dari perjuangan masyarakat Minangkabau dalam melawan penjajah pada masa Perang Padri tahun 1803. Kala itu, masyarakat yang khususnya kaum ibu dan pemuda, mengekspresikan semangat perlawanan lewat bentuk tarian dan gerakan yang menggugah.
Pakaian penari dibuat dari jerami, menggambarkan kesederhanaan rakyat, sementara senjata mainan yang dibawa, terbuat dari pelapah pisang, sebagai simbol perjuangan tanpa kekerasan. Tarian ini dibawakan sambil berkeliling kampung, membawa kotak atau keranjang untuk menerima sumbangan sukarela dari warga yang menyaksikan.
Tradisi yang Terus Hidup di Era Modern
Meski zaman telah berubah, tradisi Si Muntu tetap lestari. Di Pagaruyung, kehadiran Si Muntu masih menjadi atraksi penting dalam berbagai acara besar, termasuk festival budaya dan pesta nagari.
Menariknya, di Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, tradisi Si Muntu bahkan menjadi bagian dari perayaan Idul Fitri. Usai salat hari raya, masyarakat berkumpul menyambut arak-arakan Si Muntu yang berkeliling kampung, membawa semangat keceriaan dan silaturahmi.
Melestarikan Identitas Lewat Tradisi
Keberadaan Si Muntu dan Tari Simuntu merupakan cermin kekayaan budaya Minangkabau yang penuh makna. Ia bukan sekadar sosok menyeramkan atau tontonan hiburan, melainkan simbol perlawanan, kreativitas rakyat, dan cara masyarakat menyampaikan pesan sosial secara kolektif.
Menjaga tradisi ini agar tetap hidup adalah bentuk pelestarian identitas dan jati diri masyarakat Minang. Apalagi, di tengah derasnya arus modernisasi, budaya seperti Si Muntu adalah benteng nilai-nilai lokal yang harus dijaga bersama. (hai)